Minggu, 02 Januari 2011

Hidup berorientasi akhirat

Allah berfirman di dalam al-Qur'an

وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (6) يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ


”(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 6-7)

Ayat ini menurut Al-Qurthubi berbicara tentang kriteria umum orang-orang kafir atau kaum musyrik Mekkah yang hanya memperhatikan satu kehidupan saja, yaitu kehidupan dunia. Sehingga, siapapun yang bersikap demikian, tidaklah berbeda dengan orang kafir yang jelas mendapat kerugian di akhirat kelak. Mereka mengetahui kehidupan dunia sebatas untuk meraih kesenangan. Pengetahuan mereka tentang urusan duniawi justru disamakan oleh Allah swt. dengan orang-orang yang tidak tahu, karena pengetahuan seseorang yang terbatas hanya tentang dunia adalah sama dengan kebodohan. Bahkan ditegaskan dalam ayat di atas bahwa pengetahuan mereka tentang dunia pun sangat parsial, sebatas memahami sisi lahir dari kehidupan dunia yang luas ini, yaitu tentang kesenangan dan kenikmatannya saja, tidak tentang ujian, tanggung jawab, dan persoalan-persoalan penting dunia lainnya yang menghantarkan pada balasan baik di akhirat kelak.

Kecaman Allah terhadap orang kafir –karena sikap mereka yang melulu hanya mengurusi dunia– tidak berarti bahwa urusan dunia tidak mendapatkan porsi perhatian sewajarnya. Pengetahuan orang kafir tentang dunia yang dikecam oleh Allah adalah karena pengetahuan mereka yang sempit, parsial dan tidak utuh. Sehingga, orang yang beriman harus memperhatikan sisi dunia secara komprehensif sebagai bagian dari mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik agar terhindar dari kriteria orang yang lalai yang disebutkan pada petikan terakhir ayat ini وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Lalai yang dimaksud dalam ayat ini yang dinyatakan dengan kata ‘ghafilun’ menurut Asy-Syaukani adalah dalam arti tidak memberi perhatian dan kepeduliaan tentang urusan akhirat, serta tidak mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan tersebut dengan menjalankan ketaatan dan amal shalih sebagai bekal meraih kebahagiaan seperti yang mereka lakukan tentang urusan kehidupan dunia mereka.

Sikap lalai terhadap urusan akhirat menurut Sayyid Quthb merupakan musibah bagi manusia yang beriman. Karena keimanan seseorang seharusnya akan membimbing dan senantiasa mengarahkan untuk juga memperhatikan dan mempersiapkan kehidupan akhirat. Karena, kelengahan terhadap akhirat akan menjadikan barometer sesuatu menjadi rancu. Segalanya diukur dengan ukuran material. Itulah bukti pemahaman yang sempit tentang kehidupan. Seorang yang memahami kehidupan akhirat akan mengubah pandangannya tentang dunia tidak melulu untuk memuaskan nafsu dan kesenangan materi semata. Tetapi, ia akan bersungguh-sungguh bekerja dan beramal untuk menyelamatkan diri di akhirat kelak. Inilah pertimbangan dan parameter yang benar tentang kehidupan yang sesungguhnya. Dan jika seseorang telah lalai akan akhirat, pasti ia akan lebih melupakan Allah swt. Padahal Allah telah menegaskan,

“Dan janganlah kalian seperti orang yang melupakan Allah, maka mereka berarti telah melupakan diri sendiri. Dan itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19).


Sebagai muslim sejati, setiap kita tentu memahami dan menyadari bahwa kehidupan akhirat jauh lebih baik dibanding kehidupan di dunia ini. Karenanya kehidupan dunia hanya batu loncatan untuk meraih kenikmatan dalam kehidupan akhirat. Oleh karena itu, sangat beruntung apabila kita berhasrat kepada kehidupan akhirat, dibanding kehidupan dunia yang perbandingannya seperti air lautan dengan tetesan air dari jari tangan yang baru dicelupkan. Rasulullah saw mengemukakan keuntungan bila kita berorientasi pada kehidupan akhirat dalam satu haditsnya:

من كانت الآخرة همه ، جعل الله غناه في قلبه وجمع له شمله ، وأتته الدنيا وهى راغمة ومن كانت الدنيا همه ، جعل الله فقره بين عينيه ، وفرق عليه شمله ، ولم يأته من الدنيا إلا ما قدر له

Dan barangsiapa yang akhirat adalah semangat dan hasratnya dan kepada-nya ia mencurahkan perhatian dan untuknya ia berniat, niscaya Allah azza wa jalla menjadikan kekayaan di dalam hatinya dan Dia memperbaiki segala urusannya, dan kekayaan dunia datang kepadanya dalam keadaan hina” (HR. Bazzar, Thabrani dan Ibnu Hibban)

Dari hadits di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bahwa paling tidak, ada tiga keuntungan yang akan kita peroleh bila ambisi kita adalah untuk kehidupan akhirat yang bahagia.

1. Kaya Hati

Orangyang berorientasi kepada kebahagiaan hidup di akhirat akan memiliki kekayaan jiwa yang luar biasa. Kesusahan hidup tidak membuatnya berputus asa lalu sampai menghalalkan segala cara untuk memperoleh harta agar tidak susah lagi. Bahkan ketika ia memiliki banyak harta, iapun tetap sederhana dan bersahaja sehingga tidak terjadi kesenjangan antara dirinya yang kaya dengan orang miskin yang harus menjaga jarak, ini menunjukkan bahwa kekayaan tidak membuatnya menjadi lupa diri.

Karena itu, dalam konteks harta, orang yang kaya jiwa akan selalu berbagi dalam situasi banyak harta atau sedikit harta, dia tidak hanya berinfak pada saat banyak harta tapi juga pada saat sedikit, karenanya kaya tidak membuatnya lupa untuk berinfak sedangkan saat miskin ia tidak berkeluh kesah.

Disamping itu, orang yang kaya hati pada ayat di atas juga akan membuat dirinya menjadi lapang dada sehingga selalu berusaha menahan diri, tidak melampiaskan kemarahan dan berusaha memaafkan kesalahan orang lain, ini juga membuatnya tidak mudah stres.

2. Urusan Menjadi Baik.

Orang yang berorientasi pada kebahagiaan akhirat tentu menyadari bahwa ada pertanggung-jawaban atas sikap dan prilaku yang dilakukan di dunia ini, sekecil apapun dia, karenanya ia sangat khawatir bila melakukan penyimpangan, karena ada pertanggungjawabannya berat di sisi Allah swt. Oleh karena itu urusan yang dijalankannya menjadi baik karena memang tidak ada penyimpangan yang dilakukan, sedangkan kesulitan yang dihadapi dalam suatu urusan akan membuatnya mendapat kemudahan.

Bisa jadi setiap orang memiliki kebiasaan-kebiasaan baik dalam hubungannya dengan sesama manusia. Namun, kebiasaan baik itu kadangkala ditinggalkan oleh seseorang ketika ia telah memiliki jabatan atau kedudukan. Namun tidak demikian hainya dengan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik. Baginya, jabatan atau kedudukan adalah penambah amal shaleh yang membuat amal yang biasa dilakukan sebelum menjadi khalifah tidak harus ditinggalkan, meskipun hal itu masalah yang sangat teknis. Inilah salah satu sebab yang membuatnya menjadi agung.

3. Kekayaan Dunia Tunduk Dengan Kehinaan.

Orang yang berorientasi pada kebahagiaan akhirat tidak akan tunduk dengan penuh hina kepada segala yang berbau materi duniawi dengan menjatuhkan citra dan harga dirinya serta melepas idealisme yang dimiliki dan diperjuangkannya demi kenikmatan duniawi, tapi justeru materi duniawi itulah yang datang kepadanya dengan hina dan tidak berdaya dalam mempengaruhinya.

Kita tentu masih ingat bagaimana Nabi Yusuf tidak mau memenuhi ajakan untuk berzina dari wanita yang cantik dan secara pribadi iapun tertarik pada kecantikannya. Kitapun tidak lupa bagaimana seorang anak gembala tidak mau menjual susu kambing dan tidak mau juga menjual seekor kambing meskipun Khalifah Umar bin Khattab yang akan membelinya dengan harga yang mahal karena ia merasa tidak punya hak untuk melakukannya.

Dengan demikian, kita amat menyayangkan terhadap banyaknya orang yang menjatuhkari harga dirinya hanya karena persoalan kenikrnatan duniawi yang hanya sesaat. Oleh karena itu, menjadi amat penting bagi kita untuk terus mempertahankan nilai-nilai kebenaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga maupun masyarakat dan negara.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, Rasulullah saw. menyebutkan ciri orang yang cerdas, ternyata terkait dengan perhatian akan kehidupan akhirat. Rasulullah saw. bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ


“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan nafsunya dan hanya berangan-angan terhadap Allah (tidak beramal).”

Orientasi hidup untuk menggapai pahala sebagai bekal kehidupan akhirat setelah mati, menjauhkan manusia dari iri dengki, kesombongan, keserakahan, kemurkaan, kekejaman, kekerasan, dan segala sifat buruk manusia yang merugikan manusia lain. Berpedoman pada kehidupan akhirat membuat manusia memiliki kepribadian, percaya diri, memiliki prinsip dan harga diri yang ujungnya membawa pada kehidupan manusia yang beradab. Karena semua sifat buruk tersebut, merupakan syarat mutlak yang harus dihindari untuk menggapai kehidupan akhirat yang bahagia. Dalam Al Quran Allah menjanjikan kehidupan akhirat itu penuh dengan kedamaian, ketenteraman, kebahagiaan, kenyamanan

serta keindahan abadi.

Sebaliknya orientasi kehidupan yang bertumpu pada materialisme dan harta benda dunia, kenyataan berakhir dengan kekacauan, keresahan, kekhawatiran, serta segala ketidaknyamanan dalam kehidupan. Ketika orang meneriakkan politik sebagai panglima, endingnya ya huri hura dan kekacauan politik yang membuat rakyat/masyarakat sengsara. Ketika ekonomi menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan, nyatanya yang terjadi justru kesulitan hidup, ketidaktenteraman, kekhawatiran, serta ketidakdamaian dalam hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar