Kamis, 20 Januari 2011

Menggapai kemuliaan dengan lisan

Allah Ta’ala senantiasa menyerukan agar kita menjadi hamba-hamba yang berbahagia di dunia dan di akhirat, dengan cara mena-ati, patuh, dan mengikuti dengan ikhlas petunjuk dan aturan Dinul Islam, yaitu rahmat bagi kita sekalian.
Termasuk bukti rahmat Allah dalam Dinul Islam adalah wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya tentang menjaga lisan.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau hendaklah diam." (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah).

Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut menunjukkan betapa pentingnya kedudukan lisan. Dengan lisan, seorang hamba bisa mencapai derajat yang tertinggi, bahkan mendapat karunia yang amat agung di sisi Allah. Namun sebaliknya, dengan lisan pula seorang hamba jatuh tersungkur ke dalam jurang kehinaan yang sedalam-dalamnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً، يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ.

"Sesungguhnya seseorang mengucapkan kalimat dari keridhaan Allah yang tidak diperhatikannya, namun Allah mengangkatnya disebabkan kalimat itu beberapa derajat, dan sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat dari kemurkaan Allah yang tidak di-perhatikannya, sehingga Allah melemparkannya disebabkan kalimat itu ke dalam Neraka Jahanam." (HR. al-Bukhari).

Itulah kekuatan lisan dalam menentukan kedudukan dan keselamatan seorang hamba. Kemudian marilah kita renungkan, bagaimana agar kita secara pribadi-pribadi sekaligus secara maj-muk masyarakat, mampu mempergunakan kekuatan lisan kita untuk mencapai kedudukan yang tinggi, derajat yang terhormat, bahkan pangkat yang paling mulia, bukan hanya di kalangan manusia atau segenap makhluk, akan tetapi kemuliaan di sisi Allah juga, bagaimana caranya?
Junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin yang paling mengasihi dan menyayangi umatnya, telah berpesan serta berwasiat demi keselamatan, kemuliaan, serta ketinggian derajat kita, umat beliau, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menerangkan,


إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللهُ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ.

"Sesungguhnya seseorang dari kalian berkata dengan perkataan yang diridhai Allah, dia tidak menyangka bahwa kalimat itu bisa sampai pada apa yang dicapai (oleh kalimat itu), kemudian Allah mencatat baginya disebabkan kalimat itu pada keridhaanNya sampai hari dia bertemu denganNya." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibnu Hibban dari sahabat Bilal bin Harits y).

Sekali lagi, kita perhatikan dalam wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, bahwa derajat yang tinggi dapat dicapai dengan kalimat yang diridhai oleh Allah. Kalimat apakah itu?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa kalimat yang diridhai oleh Allah Ta’ala, dijamin dapat menyelamatkan dan menjadikan kita bahagia bahkan mencapai derajat yang setinggi-tingginya di sisi Allah adalah dzikir kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ. قَالُوْا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللهِ.

"Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sebaik-baik amal kalian, yang paling bersih di sisi Maharaja kalian, amalan yang paling tinggi (yang mengangkat) derajat kalian, dan lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas maupun perak, juga lebih baik (bagi kalian) daripada kalian bertemu musuh kalian, kemudian kalian memenggal leher mereka atau mereka memenggal leher kalian?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Tentu (wahai Rasulullah)." Beliau bersabda, "Dzikir kepada Allah Ta’ala." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

Bersyukurlah bapak-bapak, saudara-saudara, hadirin rahi-makumullah! Hanya karena hidayah dan taufik Allah semata, kita dapat senantiasa berdzikir dan bersyukur kepadaNya..

Maka sekarang tergantung kita, apakah kita sebagai umat, sebagai bangsa, sebagai generasi, ingin tetap mempertahankan kedudukan yang mulia dan tertinggi itu, atau malah kita tidak mau peduli dan tidak mau sadar bahwa kita sedang menukik terjun ke dalam jurang kehinaan dan kehancuran umat dan bangsa.

Tiada cara untuk bisa mempertahankan kedudukan termulia dan tertinggi itu selain dari bersyukur kepada Allah, senantiasa mensyukuri nikmat kesehatan lisan, dengan berupaya mengguna-kannya untuk mengucapkan kalimat yang diridhai Allah Ta’ala semata, menggunakan lisan hanya untuk menyeru kepada Allah, memperbanyak dzikir di manapun berada, sehingga bibir senantiasa basah oleh dzikir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya oleh seorang sahabat, "Duhai Rasulullah, sesungguhnya syari'at Islam telah terlalu banyak yang harus aku jalankan, maka beritahukan kepadaku apa yang dapat aku pegangi (terus menerus)." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,


لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ.

"Lidahmu tidak henti-hentinya basah dari dzikir kepada Allah." (HR. at-Tirmidzi).

Di samping itu juga, sangat dianjurkan bahkan akan memperoleh satu kedudukan yang tinggi jika kita menggunakan lisan untuk bermudzakarah, menyebarkan, dan menuntut ilmu. Allah Ta’ala berfirman,


َرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Al-Mujadilah: 11).

Dengan cara seperti itulah kaum Muslimin senantiasa bisa mempertahankan kedudukan yang paling mulia sejak zaman para Nabi dan Rasul sampai saat sekarang, maka janganlah sekali-kali kita melupakan atau tidak mau mewarisinya dengan sungguh-sungguh, sehingga tersungkur dalam jurang kehancuran, karena tidak mampu lagi menjaga lisan dan mensyukurinya dengan sebaik-baiknya.

Apabila kita tidak mampu untuk berkata yang baik, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi satu solusi jitu yaitu, "Diamlah!"

Karena diam itu mampu menahan seorang hamba agar tidak jatuh ke dalam jurang kehancuran.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ صَمَتَ نَجَا.

"Siapa yang diam, niscaya akan selamat." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi ad-Dunya).

Dengan diam, kita akan selamat dari jurang neraka, seperti yang diperingatkan oleh Rasulullah dalam haditsnya, "Dan sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat dari yang dimurkai Allah yang tidak diperhatikannya, sehingga Allah melemparkannya disebabkan kalimat itu ke dalam Neraka Jahanam." (HR. al-Bukhari).

Sesungguhnya perkataan yang tidak baik dapat menyebab-kan kehancuran dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat, semua itu dikarenakan tidak mau mengendalikan lisan atau tidak bisa diam.

Di sini khatib mencoba menyebutkan beberapa ucapan yang harus kita hindari, agar kita selamat dari laknat dan murka Allah:

BERDUSTA ATAS NAMA ALLAH
Jika perbuatan itu dilakukan, maka dia termasuk orang-orang yang zhalim, yang telah dipersiapkan baginya azab yang sangat pedih dan mengerikan oleh Allah, Allah berfirman,


وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

"Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan." (Al-An'am: 21).
Allah berfirman,


وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih." (An-Nahl: 116–117).

MEMBANTAH ATAU BERPALING DARI KITAB ATAU SUNNAH RASULNYA.
Perbuatan ini akan menyebabkan kemurkaan Allah, sehingga Allah membiarkannya berkubang lebih lama di dalam kesesatan, setelah itu dilemparkan ke dalam Neraka Jahanam sebagai tempat yang paling buruk, di dalam Jahanam dia akan memakan buah Zaqqum yang memenuhi perutnya, ketika haus, dia akan memi-num air nanah yang sangat panas, Allah Ta’ala berfirman,


وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasai-nya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (An-Nisa`: 115).

Allah Ta’ala berfirman, "Kemudian sesungguhnya kamu hai orang yang sesat lagi mendus-takan, benar-benar akan memakan pohon zaqqum, dan akan meme-nuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus minum." (Al-Waqi'ah: 51-55).

MENERTAWAKAN ATAU MENGOLOK-OLOK SYARI'AT ALLAH, MENGOLOK-OLOK NABI MAUPUN AL-QUR`AN
Allah mengancam orang-orang yang berbuat demikian dengan cap munafik dan kafir, bahkan orang-orang yang sekedar duduk-duduk bersama mereka ketika mereka sedang mengolok-olok sya-ri'at Allah, RasulNya dan al-Qur`an, Allah setarakan kedudukan mereka dengan orang-orang kafir dan munafik di Neraka Jahanam. Allah Ta’ala berfirman,


وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللّهِ يُكَفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُواْ مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembica-raan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di da-lam jahanam." (An-Nisa`: 140).

Allah berfirman, "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah, 'Apa-kah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa." (At-Taubah: 65 – 66).

GEMAR BERSUMPAH PALSU, MENGADU DOMBA DAN MENYEBAR-KAN FITNAH (BERITA BOHONG)
Allah Ta’ala berfirman,


وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ{10} هَمَّازٍ مَّشَّاء بِنَمِيمٍ{11}

"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah." (Al-Qalam: 10–11).
- Menuduh.
Allah Ta’ala berfirman,


إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ{23} يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ{24{

"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh (berbuat zina) wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman, mereka menda-patkan laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." (An-Nur: 23–24).


وَمَن يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْماً ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئاً فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً

"Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata." (An-Nisa`: 112).

GHIBAH, GOSIP, MENGGUNJING, DAN BERBURUK SANGKA
Allah Ta’ala berfirman,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasang-ka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Al-Hujurat: 12).

Banyak bicara (tanpa manfaat), menyakiti hati, kalimat sia-sia, bersenda gurau yang melalaikan Allah, bermain-main dengan doa, menjuluki dengan julukan yang jelek dan menyebut-nyebut pemberian yang telah diberikan kepada seseorang, juga termasuk ke dalam serangkaian berkata yang mengakibatkan kita terjerumus ke dalam jurang neraka, maka kita semua harus menghindari semua itu, agar kita terhindar dari laknat dan murka Allah. .


Hati Nurani

Godaan dan tantangan hidup di dunia kita rasakan semakin banyak dan berat. sudah terlalu banyak orang yang tergelincir dari jalan yang benar, lalu mereka menempuh jalan yang bathil karena tidak mampu menghadapi tantangan dan godaan hidup. semakin banyaknya kemaksiatan yang dilakukan manusia sekarang ini menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi godaan dan tantangan hidup. potensi yang baik dan buruk memang ada pada diri setiap manusia, oleh karena itu, tinggal manusianya yang harus menentukan apakah akan menjaga kesucian dirinya atau justru mengotorinya dengan sejumlah dosa. Allah SWT berfirman :

ونفس وما سواها . فألهمها فجورها وتقواها . قد أفلح من زكاها. وقد خاب من دساها

Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa tersebut jalan kefasikan dan ketakwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Syams : 7-10)

Setiap kita harus dapat menjaga kesucian diri dengan cara banyak beramal saleh dan meninggalkan segala bentuk yang salah, meskipun kita terkadang ingin melakukan yang salah tadi karena terpengaruh oleh duniawi.

Ketika kita akan melakukan suatu perbuatan, sebenarnya ada sesuatu dalam diri kita yang selalu terlibat, bila perbuatan yang akan atau sedang kita lakukan itu benar, sesuatu dalam diri kita tadi akan mengiringi, menyertai, mendukung. bahkan akan memuji kita bila tindakan itu berhasil. sebaliknya, bila tindakan yang akan atau sedang kita lakukan itu salah dia akan mengganjal kita lalu meninggalkan kita. dan apabila perbuatan salah tadi itu selesai dia akan datang dengan makian, cercaan kepada kita sehingga kita menyesal karena perbuatan tadi.

Pembaca sekalian, tentu jama'ah sudah tahu apa yang dimaksud dengan sesuatu tadi, dia adalah HATI NURANI atau kita sebut dengan DLAMIR.

Dalam banyak hal, setiap muslim dituntut untuk mengikuti suara hati nuraninya dan menekan hawa nafsunya. karena hati tidak tak pernah bohong dan selalu memberikan kesaksian sejati tentang benar atau tidaknya suatu perbuatan yang kita lakukan. Namun sayangnya, justru kata dan suara hati inilah yang paling sering diabaikan manusia. Karena itu seseorang yang melakukan dosa biasanya secara sadar telah melawan hati nuraninya sendiri. Jika hatinya masih hidup, bersih, dia akan membisikan bahwa perbuatan yang akan atau sedang dilakukannya adalah dosa. Namun bila hatinya telah kotor, mati maka kemampuan kontrolnyapun melemah. Teguran/bisikan hati ini biasanya diiringi rasa malu, atau enggan jika perbuatannya diketahui oleh orang lain. Rasulullah bersabda:

البر حسن الخلق والإثم ما حاك فى صدرك وكرهت أن يطلع عليه الناس

Kebajikan itu adalah keluhuran akhlak sedangkan dosa adalah apa yang dirimu merasa ragu dan kamu tidak suka jika orang ,ain menghetahuinya. (HR. Muslim)

Dalam taraf tertentu hati manusia bisa kotor, rusak dan mati, itu dikarenakan banyaknya dosa-dosa yang telah diperbuat. keadaan hati yang demikian itu sangat memprihatinkan karena sering kali membelenggu jiwa pemiliknya dalam penjara kesesatan dan kedurhakaan kepada Allah SWT.

Dari seorang Tabi'in imam Hasan Al Bashri- kita mendapat nasehat;

Sesungguhnya kerusakan hati manusia itu disebabkan enam perkara : 1). mereka sengaja berbuat dosa dengan harapan dapat bertaubat. 2). mereka menuntut ilmu tetapi tidak mengamalkannya. 3) jika mereka mengamalkan ilmunya mereka tidak ikhlas. 4). mereka mendapat rizki dari Allah tetapi mereka tidak bersyukur. 5) mereka tidak rela/puas dengan pemberian Allah. 6) mereka mengebumikan orang mati tetapi tidak mengambil pelajaran daripadanya.

Orang yang hatinya kotor tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyaring antara yang hak dan bathil. orang yang hatinya mati dia akan jahil, bodoh baik dalam mengenal dirinya sendiri, lebih-lebih dalam mengenal Allah Azza wa jalla, Zat yang telah menyempurnakan kejadiannya dan pula mengurus tubuhnya lebih daripada apa yang bisa ia lakukan terhadap dirinya sendiri. padahal tidak ada kekayaan termahal dalam hidup ini, kecuali keberhasilan mengenal diri dan Tuhannya.

Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah mampu mengenal dirinya dengan baik karena hatinya mati, tidak akan tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini. Demikianpun, karena tidak mengenal Rabnya, maka hampir dapat dipastikan kalau yang dikenalnya hanyalah dunia saja, dan itupun sebagaian kecil belaka. Akibatnya, semua kalkulasi perbuatannya, tidak bisa tidak, hanya diukur dengan aksesoris keduniaan. Dia menghargai orang semata-mata karena orang tersebut tinggi pangkat dan jabatannya, ataupun banyak hartanya. Demikian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang lain, itu karena ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain meski ia sendiri tidak peduli dari mana dan pergi kemana harta yang ia peroleh.

Ajaran islam datang untuk mensucikan hati kita, menjaganya agar selalu berfungsi, bercahaya. Seorang mukmin bukan tidak pernah berdosa, akan tetapi selalu menghindar dari dosa. seorang mukmin tidak pernah menganggap enteng atau meremehkan dosa sekecil apapun karena ia tahu bahwa dosa itu dilakukan kepada Allah yang maha pengasih dan penyayang kepadanya. dia akan menangisi dosanya sebagaimana dia menangis karena takut dimasukkan ke dalam neraka jahannam.

Beruntunglah kita bila kita dikaruniai kekayaan berupa harta yang banyak, akan tetapi yang harus kita utamakan dalam menjaganya adalah kekayaan bathin berupa hati nurani/dlamir ini. hati nurani yang penuh cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah Azza wa jalla.

Bagaimana menjaga hati agar tetap suci, bersih, bercahaya? kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia dari unsur tanah; bila perut terasa lapar, maka kita santap aneka makanan yang sumbernya dari tanah. bila tubuh kedinginan, kita mengenakan pakaian, yang bila kita telusuri, ternyata unsur-unsurnya dari tanah juga. Demikian pula bila kita sakit, katapun minum obat-obatan yang juga diolah komponen-komponen yang berasal dari tanah. pendek kata, untuk segala keperluan tubuh kita mencarikan jawabannya dari tanah. lalu bagaimana dgn hati kita? ternyata ia tidak senyawa dengan unsur-unsur tanah, sehingga hanya akan terpuaskan laparnya, bersihnya, sakitnya semata-mata dengan mengingat Allah. Alaa bizikrillah tatma'innul quluub.

Mari kita jaga hati kita dengan berjuang sekuat-kuatnya agar hati ini jangan sampai terlalaikan dari mengingat Allah. kita mulai dengan mengenali siapa diri kita. kita belajar ilmu dan hikmah, kita amalkan sekecil apapun ilmu yang kita peroleh dengan penuh keikhlasan. kita belajar untuk menerima dengan qona'ah apapun yang Allah berikan kepada kita, bersyukur tatkala mendapat karunia, bersabar dalam melakukan ketaatan, bersabar dalam meninggalkan maksiat dan bersabar ketika mendapat mushibah. dan yang tidak kalah penting lagi, untuk menjaga agar hati nurani kita bercahaya, mari kita belajar dari kematian, suatu saat kelak kita akan menemui ajal kita, meninggalkan segalanya yang kita miliki di dunia ini dan hanya membawa amal saleh kita.

يوم لا ينفع مال ولا بنون إلا من أتى الله بقلب سليم

Minggu, 02 Januari 2011

Hidup berorientasi akhirat

Allah berfirman di dalam al-Qur'an

وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (6) يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ


”(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 6-7)

Ayat ini menurut Al-Qurthubi berbicara tentang kriteria umum orang-orang kafir atau kaum musyrik Mekkah yang hanya memperhatikan satu kehidupan saja, yaitu kehidupan dunia. Sehingga, siapapun yang bersikap demikian, tidaklah berbeda dengan orang kafir yang jelas mendapat kerugian di akhirat kelak. Mereka mengetahui kehidupan dunia sebatas untuk meraih kesenangan. Pengetahuan mereka tentang urusan duniawi justru disamakan oleh Allah swt. dengan orang-orang yang tidak tahu, karena pengetahuan seseorang yang terbatas hanya tentang dunia adalah sama dengan kebodohan. Bahkan ditegaskan dalam ayat di atas bahwa pengetahuan mereka tentang dunia pun sangat parsial, sebatas memahami sisi lahir dari kehidupan dunia yang luas ini, yaitu tentang kesenangan dan kenikmatannya saja, tidak tentang ujian, tanggung jawab, dan persoalan-persoalan penting dunia lainnya yang menghantarkan pada balasan baik di akhirat kelak.

Kecaman Allah terhadap orang kafir –karena sikap mereka yang melulu hanya mengurusi dunia– tidak berarti bahwa urusan dunia tidak mendapatkan porsi perhatian sewajarnya. Pengetahuan orang kafir tentang dunia yang dikecam oleh Allah adalah karena pengetahuan mereka yang sempit, parsial dan tidak utuh. Sehingga, orang yang beriman harus memperhatikan sisi dunia secara komprehensif sebagai bagian dari mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik agar terhindar dari kriteria orang yang lalai yang disebutkan pada petikan terakhir ayat ini وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Lalai yang dimaksud dalam ayat ini yang dinyatakan dengan kata ‘ghafilun’ menurut Asy-Syaukani adalah dalam arti tidak memberi perhatian dan kepeduliaan tentang urusan akhirat, serta tidak mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan tersebut dengan menjalankan ketaatan dan amal shalih sebagai bekal meraih kebahagiaan seperti yang mereka lakukan tentang urusan kehidupan dunia mereka.

Sikap lalai terhadap urusan akhirat menurut Sayyid Quthb merupakan musibah bagi manusia yang beriman. Karena keimanan seseorang seharusnya akan membimbing dan senantiasa mengarahkan untuk juga memperhatikan dan mempersiapkan kehidupan akhirat. Karena, kelengahan terhadap akhirat akan menjadikan barometer sesuatu menjadi rancu. Segalanya diukur dengan ukuran material. Itulah bukti pemahaman yang sempit tentang kehidupan. Seorang yang memahami kehidupan akhirat akan mengubah pandangannya tentang dunia tidak melulu untuk memuaskan nafsu dan kesenangan materi semata. Tetapi, ia akan bersungguh-sungguh bekerja dan beramal untuk menyelamatkan diri di akhirat kelak. Inilah pertimbangan dan parameter yang benar tentang kehidupan yang sesungguhnya. Dan jika seseorang telah lalai akan akhirat, pasti ia akan lebih melupakan Allah swt. Padahal Allah telah menegaskan,

“Dan janganlah kalian seperti orang yang melupakan Allah, maka mereka berarti telah melupakan diri sendiri. Dan itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19).


Sebagai muslim sejati, setiap kita tentu memahami dan menyadari bahwa kehidupan akhirat jauh lebih baik dibanding kehidupan di dunia ini. Karenanya kehidupan dunia hanya batu loncatan untuk meraih kenikmatan dalam kehidupan akhirat. Oleh karena itu, sangat beruntung apabila kita berhasrat kepada kehidupan akhirat, dibanding kehidupan dunia yang perbandingannya seperti air lautan dengan tetesan air dari jari tangan yang baru dicelupkan. Rasulullah saw mengemukakan keuntungan bila kita berorientasi pada kehidupan akhirat dalam satu haditsnya:

من كانت الآخرة همه ، جعل الله غناه في قلبه وجمع له شمله ، وأتته الدنيا وهى راغمة ومن كانت الدنيا همه ، جعل الله فقره بين عينيه ، وفرق عليه شمله ، ولم يأته من الدنيا إلا ما قدر له

Dan barangsiapa yang akhirat adalah semangat dan hasratnya dan kepada-nya ia mencurahkan perhatian dan untuknya ia berniat, niscaya Allah azza wa jalla menjadikan kekayaan di dalam hatinya dan Dia memperbaiki segala urusannya, dan kekayaan dunia datang kepadanya dalam keadaan hina” (HR. Bazzar, Thabrani dan Ibnu Hibban)

Dari hadits di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bahwa paling tidak, ada tiga keuntungan yang akan kita peroleh bila ambisi kita adalah untuk kehidupan akhirat yang bahagia.

1. Kaya Hati

Orangyang berorientasi kepada kebahagiaan hidup di akhirat akan memiliki kekayaan jiwa yang luar biasa. Kesusahan hidup tidak membuatnya berputus asa lalu sampai menghalalkan segala cara untuk memperoleh harta agar tidak susah lagi. Bahkan ketika ia memiliki banyak harta, iapun tetap sederhana dan bersahaja sehingga tidak terjadi kesenjangan antara dirinya yang kaya dengan orang miskin yang harus menjaga jarak, ini menunjukkan bahwa kekayaan tidak membuatnya menjadi lupa diri.

Karena itu, dalam konteks harta, orang yang kaya jiwa akan selalu berbagi dalam situasi banyak harta atau sedikit harta, dia tidak hanya berinfak pada saat banyak harta tapi juga pada saat sedikit, karenanya kaya tidak membuatnya lupa untuk berinfak sedangkan saat miskin ia tidak berkeluh kesah.

Disamping itu, orang yang kaya hati pada ayat di atas juga akan membuat dirinya menjadi lapang dada sehingga selalu berusaha menahan diri, tidak melampiaskan kemarahan dan berusaha memaafkan kesalahan orang lain, ini juga membuatnya tidak mudah stres.

2. Urusan Menjadi Baik.

Orang yang berorientasi pada kebahagiaan akhirat tentu menyadari bahwa ada pertanggung-jawaban atas sikap dan prilaku yang dilakukan di dunia ini, sekecil apapun dia, karenanya ia sangat khawatir bila melakukan penyimpangan, karena ada pertanggungjawabannya berat di sisi Allah swt. Oleh karena itu urusan yang dijalankannya menjadi baik karena memang tidak ada penyimpangan yang dilakukan, sedangkan kesulitan yang dihadapi dalam suatu urusan akan membuatnya mendapat kemudahan.

Bisa jadi setiap orang memiliki kebiasaan-kebiasaan baik dalam hubungannya dengan sesama manusia. Namun, kebiasaan baik itu kadangkala ditinggalkan oleh seseorang ketika ia telah memiliki jabatan atau kedudukan. Namun tidak demikian hainya dengan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddik. Baginya, jabatan atau kedudukan adalah penambah amal shaleh yang membuat amal yang biasa dilakukan sebelum menjadi khalifah tidak harus ditinggalkan, meskipun hal itu masalah yang sangat teknis. Inilah salah satu sebab yang membuatnya menjadi agung.

3. Kekayaan Dunia Tunduk Dengan Kehinaan.

Orang yang berorientasi pada kebahagiaan akhirat tidak akan tunduk dengan penuh hina kepada segala yang berbau materi duniawi dengan menjatuhkan citra dan harga dirinya serta melepas idealisme yang dimiliki dan diperjuangkannya demi kenikmatan duniawi, tapi justeru materi duniawi itulah yang datang kepadanya dengan hina dan tidak berdaya dalam mempengaruhinya.

Kita tentu masih ingat bagaimana Nabi Yusuf tidak mau memenuhi ajakan untuk berzina dari wanita yang cantik dan secara pribadi iapun tertarik pada kecantikannya. Kitapun tidak lupa bagaimana seorang anak gembala tidak mau menjual susu kambing dan tidak mau juga menjual seekor kambing meskipun Khalifah Umar bin Khattab yang akan membelinya dengan harga yang mahal karena ia merasa tidak punya hak untuk melakukannya.

Dengan demikian, kita amat menyayangkan terhadap banyaknya orang yang menjatuhkari harga dirinya hanya karena persoalan kenikrnatan duniawi yang hanya sesaat. Oleh karena itu, menjadi amat penting bagi kita untuk terus mempertahankan nilai-nilai kebenaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga maupun masyarakat dan negara.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, Rasulullah saw. menyebutkan ciri orang yang cerdas, ternyata terkait dengan perhatian akan kehidupan akhirat. Rasulullah saw. bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ


“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan nafsunya dan hanya berangan-angan terhadap Allah (tidak beramal).”

Orientasi hidup untuk menggapai pahala sebagai bekal kehidupan akhirat setelah mati, menjauhkan manusia dari iri dengki, kesombongan, keserakahan, kemurkaan, kekejaman, kekerasan, dan segala sifat buruk manusia yang merugikan manusia lain. Berpedoman pada kehidupan akhirat membuat manusia memiliki kepribadian, percaya diri, memiliki prinsip dan harga diri yang ujungnya membawa pada kehidupan manusia yang beradab. Karena semua sifat buruk tersebut, merupakan syarat mutlak yang harus dihindari untuk menggapai kehidupan akhirat yang bahagia. Dalam Al Quran Allah menjanjikan kehidupan akhirat itu penuh dengan kedamaian, ketenteraman, kebahagiaan, kenyamanan

serta keindahan abadi.

Sebaliknya orientasi kehidupan yang bertumpu pada materialisme dan harta benda dunia, kenyataan berakhir dengan kekacauan, keresahan, kekhawatiran, serta segala ketidaknyamanan dalam kehidupan. Ketika orang meneriakkan politik sebagai panglima, endingnya ya huri hura dan kekacauan politik yang membuat rakyat/masyarakat sengsara. Ketika ekonomi menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan, nyatanya yang terjadi justru kesulitan hidup, ketidaktenteraman, kekhawatiran, serta ketidakdamaian dalam hidup.