Kamis, 10 Agustus 2017

Sendi-sendi kehidupan

Saudaraku umat Islam yang dirahmati Allah,

Kita semua kaum mukmin bertanggung jawab atas terpeliharanya akhlak sosial sehingga Allah tidak menurunkan siksaan-Nya. Sebab bila siksaan itu tiba, ia akan menimpa bukan hanya orang-orang yang dzalim saja, tetapi merata kepada kita semuanya. sebagaimana yang tersirat dari firman Allah

“Dan hindarilah siksaan yang sekali-kali tidak menimpa secara khusus orang-orang yang dzalim di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya .” (al-Anfal : 25)

Bila kemungkaran telah meluas, dan tidak ada yang tampil meluruskannya, maka itu berarti masyarakat tidak lagi terusik perasaannya dan gairah keagamaannya. Akibat kemungkaran itu, siapa yang sikapnya seperti itu dapat dinilai merestui kemungkaran dan ia menjadikan yang bersangkutan terlibat secara tidak langsung dalam kemungkaran itu sehingga iapun berdosa dan wajar mendapat sanksi berupa siksa ilahi.

Al-Qur'an diturunkan untuk membangun umat dan menata sebuah masyarakat. Yakni, membangun dunia yang menegakkan nizham Qur'ani pembawa dakwah 'alamiyyah dan insaniyyah yang tidak mengkhususkan hanya untuk sebuah kabilah, umat, ataupun bangsa tertentu saja. Akan tetapi, yang menyatukan semua itu hanyalah akidah yang merupakan inti dan ikatan bagi kebangsaan dan fanatisme.

Dari sinilah al-Qur'an datang dengan membawa prinsip-prinsip hidup Ia menjadi penenang setiap individu, umat, dan bangsa. Ia menjadi pegangan kaum muslim dalam menjalani kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.

Prinsip-prinsip hidup itu adalah al-'adl (keadilan), al-ihsan (berbuat baik) dan takaful (saling menopang), sebagaimana terkandung dalam al-Qur'an surat an-nahl ayat 90, Allah berfirman;

Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan, serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran

Mari bersama-sama kita perhatikan 3 (tiga) prinsip yang terkandung dalam ayat ini;

al-'Adl, menurut penelitian M. Quraisy Syihab, paling tidak ada 4 (empat) makna al-'adl ; pertama, sama yang berarti persamaan hak. Kedua, seimbang, beliau menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Jadi, seandainya ada salah satu tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Ketiga, perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak tersebut kepada setiap pemiliknya. Dengan demikian, al'adl di sini berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat. Pengertian inilah yang melahirkan keadilan sosial, yang merupakan lawan dari kedzaliman (pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain). keempat, pengertian yang dinisbatkan kepada Allah, yang berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang Maha adil harus menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun.

Yang perlu kita ingat juga bahwa keadilan mendekatkan kita kepada takwa,

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Karena itu, bertakwalah kepada Allah. Sesngguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS: al-Ma'idah 8)

Prinsip keadilan ini menjadi penopang setiap individu, masyarakat, dan bangsa sebagai kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari. Sedikitpun tidak dirasuki oleh syahwat dan tidak terpengaruh oleh belas kasihan dan rasa benci. Tidak ditukar dengan nasab, status kaya atau miskin, kuat dan lemah. Akan tetapi, semuanya berjalan di atas relnya berdasarkan satu neraca untuk semuanya dan ditimbang dengan suatu timbangan yang satu pula untuk semua lapisan.

al-Ihsan dari kata ahsana – yuhsinu yang artinya berbuat baik. Ihsan adalah sikap di mana dengannya seseorang tidak mungkin berbuat dosa. Sebab dengan ihsan seseorang benar-benar akan menjaga dirinya dari pelanggaran terhadap ajaran Allah. Dalam sebuah hadits Nabi saw. Bersabda :

الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فأن لم تكن تراه فإنه يراك

Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan bila engkau tidak mampu melihatNya, sesungguhnya Ia melihatmu

Dan bila kata al-'adl digandeng dengan kata al-ihsan, dimaksudkan untuk membiarkan pintu-pintu terbuka lebar menuju keadilan bagi siapa saja yang ingin bertasamuh (toleransi) dalam sebagian haknya demi mengutamakan kasih sayang hati nurani dan sebagai penyembuh kedengkian jiwa. Pintunya juga terbuka untuk orang yang ingin bangkit di atas keadilan yang wajib dilakukan baginya sebagai obat penawar luka atau sebagai penyandang sebuah keistimewaan (kapabilitas).

Takaful, Menurut susunan kalimat dalam ayat ini, penyebutan Ita’idzil Qurba (memberi kepada kaum kerabat) setelah al-'adl dan al-ihsan adalah untuk menunjukkan bentuk konkret salah satu dari perbuatan ihsan. Yang tersebut dalam ayat ini (mantuq) memang memberi kaum kerabat. Penyebutan khusus kalimat ini hanyalah dalam konteks ta’dziman (pengagungan) terhadap hubungan dengan kaum kerabat dan sebagai taukid (penegasan) terhadap konsep ihsan tersebut. Tetapi mafhumnya ialah memberi kepada saja yang membutuhkan. Perbuatan baik ini dibangun bukan atas dasar ashobiyah (fanatisme golongan) terhadap keluarga. Akan tetapi dibangun di atas prinsip takaful (saling menopang) yang dilakukan secara bertahap, dari wilayah (orang-orang) yang paling dekat dengan kita sampai ke wilayah (orang-orang) yang jauh yang meliputi seluruh anggota masyarakat.

Saudaraku Kaum Muslimin rahimakumullah…

Tiga prinsip yang terkandung di dalam ayat tersebut di atas ; al-'adl, al-ihsan dan takaful ini merupakan landasan aplikatif untuk membendung dan mengantisipasi gerak al-Fahsya’ yaitu segala perbuatan buruk atau melampaui batas yang didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu, seperti zina, minuman yang memabukkan dan sebagainya. Al-Munkar, yaitu perbuatan buruk yang bertentangan dengan akal sehat, seperti mencuri, merampok dan tindakan aniaya lainnya. Al-Baghyu, yaitu tindakan yang mengarah kepada permusuhan, seperti kezaliman, tindakan sewenang-wenang dan sebagainya. Ketiga kekuatan perusak ini merupakan penyakit masyarakat yang akan senantiasa merongrong keutuhan dan eksistensi umat. Karenanya, tidak akan mungkin sebuah masyarakat akan tegak di atas dasar kekejian, kemungkaran dan permusuhan. Mana mungkin sebuah masyarakat yang di dalamnya tersebar kemungkaran dengan segala daya tariknya dan permusuhan dengan segala bentuknya akan bangkit dari keterpurukan dan kesengsaraan.

Sementara itu, Syekh Abu Hamid Al-Ghozali menuturkan pandangannya tentang konsep adil dan ihsan sebagai sebuah perintah yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Ia menyatakan bahwa melalui ayat ini, Allah memerintahkan hambaNya agar bersikap adil dan ihsan secara bersamaan. Karena sikap adil hanya akan membawa kepada keselamatan. Seperti halnya dalam aktifitas perniagaan, hanya mengembalikan modal. Sedangkan sikap ihsanlah yang akan memberikan kemenangan dan kebahagiaan. Yaitu keuntungan yang lebih dari modal dalam konteks perniagaan. Sehingga, sepatutnya seorang hamba Allah tidak cukup berpuas hati karena hanya mampu melaksanakan adil tanpa dibarengi dengan ihsan. Oleh karenanya, Allah menggandengkan kedua sikap ini dalam ayatNya.

“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan ihsan”. (Al-Kahfi: 30). “Dan berbuat ihsanlah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. (Al-Qashash: 77)

Akhirnya, kaum muslimin yang dirahmati Allah, harus kita akui betapa prinsip keadilan, ihsan dan takaful dalam kehidupan kita ini terasa semakin lenyap dan hilang dari kesehariannya, baik dalam skala pribadi, keluarga maupun masyarakat. Kalaupun ada, masih sangat terbatas dan sangat rapuh. Sedangkan tiga kekuatan penghancur ; al-fahsya, al-munkar dan al-baghyu yang tampil dalam kemasan kekejian, kemungkaran dan permusuhan justru semakin menunjukkan eksistensi kekuatannya di tengah umat yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Tiga kekuatan ini muncul serentak dalam beragam bentuk dan warnanya. Cukuplah ayat ini menjadi wejangan yang sangat berharga untuk mengembalikan izzatul Islam wal Muslimin. “Dia (Allah) memberi pengajaran kepadamu (dengan ayat ini) agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Sungguh, fitrah manusia pasti akan bangkit untuk mengusir segala keburukan, kemungkaran, dan kedzaliman sebagaimana orang yang hidup akan mengusir setiap jasad asing maupun yang mencoba masuk ke dalam tubuhnya. Perintah Allah untuk berbuat adil, ihsan, serta larangannya dari segala perbuatan keji dan mungkar, dan permusuhan sangat sesuai dengan fitrah manusia yang sehat dan bersih. Menguatkannya, dan memotivasinya untuk melakukan perlawanan dengan nama Allah (Bismillah)