Kamis, 10 Agustus 2017

Sendi-sendi kehidupan

Saudaraku umat Islam yang dirahmati Allah,

Kita semua kaum mukmin bertanggung jawab atas terpeliharanya akhlak sosial sehingga Allah tidak menurunkan siksaan-Nya. Sebab bila siksaan itu tiba, ia akan menimpa bukan hanya orang-orang yang dzalim saja, tetapi merata kepada kita semuanya. sebagaimana yang tersirat dari firman Allah

“Dan hindarilah siksaan yang sekali-kali tidak menimpa secara khusus orang-orang yang dzalim di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya .” (al-Anfal : 25)

Bila kemungkaran telah meluas, dan tidak ada yang tampil meluruskannya, maka itu berarti masyarakat tidak lagi terusik perasaannya dan gairah keagamaannya. Akibat kemungkaran itu, siapa yang sikapnya seperti itu dapat dinilai merestui kemungkaran dan ia menjadikan yang bersangkutan terlibat secara tidak langsung dalam kemungkaran itu sehingga iapun berdosa dan wajar mendapat sanksi berupa siksa ilahi.

Al-Qur'an diturunkan untuk membangun umat dan menata sebuah masyarakat. Yakni, membangun dunia yang menegakkan nizham Qur'ani pembawa dakwah 'alamiyyah dan insaniyyah yang tidak mengkhususkan hanya untuk sebuah kabilah, umat, ataupun bangsa tertentu saja. Akan tetapi, yang menyatukan semua itu hanyalah akidah yang merupakan inti dan ikatan bagi kebangsaan dan fanatisme.

Dari sinilah al-Qur'an datang dengan membawa prinsip-prinsip hidup Ia menjadi penenang setiap individu, umat, dan bangsa. Ia menjadi pegangan kaum muslim dalam menjalani kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.

Prinsip-prinsip hidup itu adalah al-'adl (keadilan), al-ihsan (berbuat baik) dan takaful (saling menopang), sebagaimana terkandung dalam al-Qur'an surat an-nahl ayat 90, Allah berfirman;

Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan, serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran

Mari bersama-sama kita perhatikan 3 (tiga) prinsip yang terkandung dalam ayat ini;

al-'Adl, menurut penelitian M. Quraisy Syihab, paling tidak ada 4 (empat) makna al-'adl ; pertama, sama yang berarti persamaan hak. Kedua, seimbang, beliau menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Jadi, seandainya ada salah satu tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Ketiga, perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak tersebut kepada setiap pemiliknya. Dengan demikian, al'adl di sini berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat. Pengertian inilah yang melahirkan keadilan sosial, yang merupakan lawan dari kedzaliman (pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain). keempat, pengertian yang dinisbatkan kepada Allah, yang berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang Maha adil harus menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun.

Yang perlu kita ingat juga bahwa keadilan mendekatkan kita kepada takwa,

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Karena itu, bertakwalah kepada Allah. Sesngguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS: al-Ma'idah 8)

Prinsip keadilan ini menjadi penopang setiap individu, masyarakat, dan bangsa sebagai kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari. Sedikitpun tidak dirasuki oleh syahwat dan tidak terpengaruh oleh belas kasihan dan rasa benci. Tidak ditukar dengan nasab, status kaya atau miskin, kuat dan lemah. Akan tetapi, semuanya berjalan di atas relnya berdasarkan satu neraca untuk semuanya dan ditimbang dengan suatu timbangan yang satu pula untuk semua lapisan.

al-Ihsan dari kata ahsana – yuhsinu yang artinya berbuat baik. Ihsan adalah sikap di mana dengannya seseorang tidak mungkin berbuat dosa. Sebab dengan ihsan seseorang benar-benar akan menjaga dirinya dari pelanggaran terhadap ajaran Allah. Dalam sebuah hadits Nabi saw. Bersabda :

الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فأن لم تكن تراه فإنه يراك

Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan bila engkau tidak mampu melihatNya, sesungguhnya Ia melihatmu

Dan bila kata al-'adl digandeng dengan kata al-ihsan, dimaksudkan untuk membiarkan pintu-pintu terbuka lebar menuju keadilan bagi siapa saja yang ingin bertasamuh (toleransi) dalam sebagian haknya demi mengutamakan kasih sayang hati nurani dan sebagai penyembuh kedengkian jiwa. Pintunya juga terbuka untuk orang yang ingin bangkit di atas keadilan yang wajib dilakukan baginya sebagai obat penawar luka atau sebagai penyandang sebuah keistimewaan (kapabilitas).

Takaful, Menurut susunan kalimat dalam ayat ini, penyebutan Ita’idzil Qurba (memberi kepada kaum kerabat) setelah al-'adl dan al-ihsan adalah untuk menunjukkan bentuk konkret salah satu dari perbuatan ihsan. Yang tersebut dalam ayat ini (mantuq) memang memberi kaum kerabat. Penyebutan khusus kalimat ini hanyalah dalam konteks ta’dziman (pengagungan) terhadap hubungan dengan kaum kerabat dan sebagai taukid (penegasan) terhadap konsep ihsan tersebut. Tetapi mafhumnya ialah memberi kepada saja yang membutuhkan. Perbuatan baik ini dibangun bukan atas dasar ashobiyah (fanatisme golongan) terhadap keluarga. Akan tetapi dibangun di atas prinsip takaful (saling menopang) yang dilakukan secara bertahap, dari wilayah (orang-orang) yang paling dekat dengan kita sampai ke wilayah (orang-orang) yang jauh yang meliputi seluruh anggota masyarakat.

Saudaraku Kaum Muslimin rahimakumullah…

Tiga prinsip yang terkandung di dalam ayat tersebut di atas ; al-'adl, al-ihsan dan takaful ini merupakan landasan aplikatif untuk membendung dan mengantisipasi gerak al-Fahsya’ yaitu segala perbuatan buruk atau melampaui batas yang didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu, seperti zina, minuman yang memabukkan dan sebagainya. Al-Munkar, yaitu perbuatan buruk yang bertentangan dengan akal sehat, seperti mencuri, merampok dan tindakan aniaya lainnya. Al-Baghyu, yaitu tindakan yang mengarah kepada permusuhan, seperti kezaliman, tindakan sewenang-wenang dan sebagainya. Ketiga kekuatan perusak ini merupakan penyakit masyarakat yang akan senantiasa merongrong keutuhan dan eksistensi umat. Karenanya, tidak akan mungkin sebuah masyarakat akan tegak di atas dasar kekejian, kemungkaran dan permusuhan. Mana mungkin sebuah masyarakat yang di dalamnya tersebar kemungkaran dengan segala daya tariknya dan permusuhan dengan segala bentuknya akan bangkit dari keterpurukan dan kesengsaraan.

Sementara itu, Syekh Abu Hamid Al-Ghozali menuturkan pandangannya tentang konsep adil dan ihsan sebagai sebuah perintah yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Ia menyatakan bahwa melalui ayat ini, Allah memerintahkan hambaNya agar bersikap adil dan ihsan secara bersamaan. Karena sikap adil hanya akan membawa kepada keselamatan. Seperti halnya dalam aktifitas perniagaan, hanya mengembalikan modal. Sedangkan sikap ihsanlah yang akan memberikan kemenangan dan kebahagiaan. Yaitu keuntungan yang lebih dari modal dalam konteks perniagaan. Sehingga, sepatutnya seorang hamba Allah tidak cukup berpuas hati karena hanya mampu melaksanakan adil tanpa dibarengi dengan ihsan. Oleh karenanya, Allah menggandengkan kedua sikap ini dalam ayatNya.

“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan ihsan”. (Al-Kahfi: 30). “Dan berbuat ihsanlah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. (Al-Qashash: 77)

Akhirnya, kaum muslimin yang dirahmati Allah, harus kita akui betapa prinsip keadilan, ihsan dan takaful dalam kehidupan kita ini terasa semakin lenyap dan hilang dari kesehariannya, baik dalam skala pribadi, keluarga maupun masyarakat. Kalaupun ada, masih sangat terbatas dan sangat rapuh. Sedangkan tiga kekuatan penghancur ; al-fahsya, al-munkar dan al-baghyu yang tampil dalam kemasan kekejian, kemungkaran dan permusuhan justru semakin menunjukkan eksistensi kekuatannya di tengah umat yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Tiga kekuatan ini muncul serentak dalam beragam bentuk dan warnanya. Cukuplah ayat ini menjadi wejangan yang sangat berharga untuk mengembalikan izzatul Islam wal Muslimin. “Dia (Allah) memberi pengajaran kepadamu (dengan ayat ini) agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Sungguh, fitrah manusia pasti akan bangkit untuk mengusir segala keburukan, kemungkaran, dan kedzaliman sebagaimana orang yang hidup akan mengusir setiap jasad asing maupun yang mencoba masuk ke dalam tubuhnya. Perintah Allah untuk berbuat adil, ihsan, serta larangannya dari segala perbuatan keji dan mungkar, dan permusuhan sangat sesuai dengan fitrah manusia yang sehat dan bersih. Menguatkannya, dan memotivasinya untuk melakukan perlawanan dengan nama Allah (Bismillah)

Kamis, 20 Januari 2011

Menggapai kemuliaan dengan lisan

Allah Ta’ala senantiasa menyerukan agar kita menjadi hamba-hamba yang berbahagia di dunia dan di akhirat, dengan cara mena-ati, patuh, dan mengikuti dengan ikhlas petunjuk dan aturan Dinul Islam, yaitu rahmat bagi kita sekalian.
Termasuk bukti rahmat Allah dalam Dinul Islam adalah wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya tentang menjaga lisan.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau hendaklah diam." (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah).

Wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut menunjukkan betapa pentingnya kedudukan lisan. Dengan lisan, seorang hamba bisa mencapai derajat yang tertinggi, bahkan mendapat karunia yang amat agung di sisi Allah. Namun sebaliknya, dengan lisan pula seorang hamba jatuh tersungkur ke dalam jurang kehinaan yang sedalam-dalamnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً، يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ.

"Sesungguhnya seseorang mengucapkan kalimat dari keridhaan Allah yang tidak diperhatikannya, namun Allah mengangkatnya disebabkan kalimat itu beberapa derajat, dan sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat dari kemurkaan Allah yang tidak di-perhatikannya, sehingga Allah melemparkannya disebabkan kalimat itu ke dalam Neraka Jahanam." (HR. al-Bukhari).

Itulah kekuatan lisan dalam menentukan kedudukan dan keselamatan seorang hamba. Kemudian marilah kita renungkan, bagaimana agar kita secara pribadi-pribadi sekaligus secara maj-muk masyarakat, mampu mempergunakan kekuatan lisan kita untuk mencapai kedudukan yang tinggi, derajat yang terhormat, bahkan pangkat yang paling mulia, bukan hanya di kalangan manusia atau segenap makhluk, akan tetapi kemuliaan di sisi Allah juga, bagaimana caranya?
Junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin yang paling mengasihi dan menyayangi umatnya, telah berpesan serta berwasiat demi keselamatan, kemuliaan, serta ketinggian derajat kita, umat beliau, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menerangkan,


إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللهُ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ.

"Sesungguhnya seseorang dari kalian berkata dengan perkataan yang diridhai Allah, dia tidak menyangka bahwa kalimat itu bisa sampai pada apa yang dicapai (oleh kalimat itu), kemudian Allah mencatat baginya disebabkan kalimat itu pada keridhaanNya sampai hari dia bertemu denganNya." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibnu Hibban dari sahabat Bilal bin Harits y).

Sekali lagi, kita perhatikan dalam wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, bahwa derajat yang tinggi dapat dicapai dengan kalimat yang diridhai oleh Allah. Kalimat apakah itu?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa kalimat yang diridhai oleh Allah Ta’ala, dijamin dapat menyelamatkan dan menjadikan kita bahagia bahkan mencapai derajat yang setinggi-tingginya di sisi Allah adalah dzikir kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ. قَالُوْا: بَلَى. قَالَ: ذِكْرُ اللهِ.

"Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sebaik-baik amal kalian, yang paling bersih di sisi Maharaja kalian, amalan yang paling tinggi (yang mengangkat) derajat kalian, dan lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas maupun perak, juga lebih baik (bagi kalian) daripada kalian bertemu musuh kalian, kemudian kalian memenggal leher mereka atau mereka memenggal leher kalian?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Tentu (wahai Rasulullah)." Beliau bersabda, "Dzikir kepada Allah Ta’ala." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

Bersyukurlah bapak-bapak, saudara-saudara, hadirin rahi-makumullah! Hanya karena hidayah dan taufik Allah semata, kita dapat senantiasa berdzikir dan bersyukur kepadaNya..

Maka sekarang tergantung kita, apakah kita sebagai umat, sebagai bangsa, sebagai generasi, ingin tetap mempertahankan kedudukan yang mulia dan tertinggi itu, atau malah kita tidak mau peduli dan tidak mau sadar bahwa kita sedang menukik terjun ke dalam jurang kehinaan dan kehancuran umat dan bangsa.

Tiada cara untuk bisa mempertahankan kedudukan termulia dan tertinggi itu selain dari bersyukur kepada Allah, senantiasa mensyukuri nikmat kesehatan lisan, dengan berupaya mengguna-kannya untuk mengucapkan kalimat yang diridhai Allah Ta’ala semata, menggunakan lisan hanya untuk menyeru kepada Allah, memperbanyak dzikir di manapun berada, sehingga bibir senantiasa basah oleh dzikir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya oleh seorang sahabat, "Duhai Rasulullah, sesungguhnya syari'at Islam telah terlalu banyak yang harus aku jalankan, maka beritahukan kepadaku apa yang dapat aku pegangi (terus menerus)." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,


لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ.

"Lidahmu tidak henti-hentinya basah dari dzikir kepada Allah." (HR. at-Tirmidzi).

Di samping itu juga, sangat dianjurkan bahkan akan memperoleh satu kedudukan yang tinggi jika kita menggunakan lisan untuk bermudzakarah, menyebarkan, dan menuntut ilmu. Allah Ta’ala berfirman,


َرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Al-Mujadilah: 11).

Dengan cara seperti itulah kaum Muslimin senantiasa bisa mempertahankan kedudukan yang paling mulia sejak zaman para Nabi dan Rasul sampai saat sekarang, maka janganlah sekali-kali kita melupakan atau tidak mau mewarisinya dengan sungguh-sungguh, sehingga tersungkur dalam jurang kehancuran, karena tidak mampu lagi menjaga lisan dan mensyukurinya dengan sebaik-baiknya.

Apabila kita tidak mampu untuk berkata yang baik, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi satu solusi jitu yaitu, "Diamlah!"

Karena diam itu mampu menahan seorang hamba agar tidak jatuh ke dalam jurang kehancuran.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ صَمَتَ نَجَا.

"Siapa yang diam, niscaya akan selamat." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi ad-Dunya).

Dengan diam, kita akan selamat dari jurang neraka, seperti yang diperingatkan oleh Rasulullah dalam haditsnya, "Dan sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat dari yang dimurkai Allah yang tidak diperhatikannya, sehingga Allah melemparkannya disebabkan kalimat itu ke dalam Neraka Jahanam." (HR. al-Bukhari).

Sesungguhnya perkataan yang tidak baik dapat menyebab-kan kehancuran dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat, semua itu dikarenakan tidak mau mengendalikan lisan atau tidak bisa diam.

Di sini khatib mencoba menyebutkan beberapa ucapan yang harus kita hindari, agar kita selamat dari laknat dan murka Allah:

BERDUSTA ATAS NAMA ALLAH
Jika perbuatan itu dilakukan, maka dia termasuk orang-orang yang zhalim, yang telah dipersiapkan baginya azab yang sangat pedih dan mengerikan oleh Allah, Allah berfirman,


وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

"Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan." (Al-An'am: 21).
Allah berfirman,


وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih." (An-Nahl: 116–117).

MEMBANTAH ATAU BERPALING DARI KITAB ATAU SUNNAH RASULNYA.
Perbuatan ini akan menyebabkan kemurkaan Allah, sehingga Allah membiarkannya berkubang lebih lama di dalam kesesatan, setelah itu dilemparkan ke dalam Neraka Jahanam sebagai tempat yang paling buruk, di dalam Jahanam dia akan memakan buah Zaqqum yang memenuhi perutnya, ketika haus, dia akan memi-num air nanah yang sangat panas, Allah Ta’ala berfirman,


وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasai-nya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (An-Nisa`: 115).

Allah Ta’ala berfirman, "Kemudian sesungguhnya kamu hai orang yang sesat lagi mendus-takan, benar-benar akan memakan pohon zaqqum, dan akan meme-nuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta yang sangat haus minum." (Al-Waqi'ah: 51-55).

MENERTAWAKAN ATAU MENGOLOK-OLOK SYARI'AT ALLAH, MENGOLOK-OLOK NABI MAUPUN AL-QUR`AN
Allah mengancam orang-orang yang berbuat demikian dengan cap munafik dan kafir, bahkan orang-orang yang sekedar duduk-duduk bersama mereka ketika mereka sedang mengolok-olok sya-ri'at Allah, RasulNya dan al-Qur`an, Allah setarakan kedudukan mereka dengan orang-orang kafir dan munafik di Neraka Jahanam. Allah Ta’ala berfirman,


وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللّهِ يُكَفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُواْ مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembica-raan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di da-lam jahanam." (An-Nisa`: 140).

Allah berfirman, "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah, 'Apa-kah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa." (At-Taubah: 65 – 66).

GEMAR BERSUMPAH PALSU, MENGADU DOMBA DAN MENYEBAR-KAN FITNAH (BERITA BOHONG)
Allah Ta’ala berfirman,


وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ{10} هَمَّازٍ مَّشَّاء بِنَمِيمٍ{11}

"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah." (Al-Qalam: 10–11).
- Menuduh.
Allah Ta’ala berfirman,


إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ{23} يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ{24{

"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh (berbuat zina) wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman, mereka menda-patkan laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." (An-Nur: 23–24).


وَمَن يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْماً ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئاً فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً

"Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata." (An-Nisa`: 112).

GHIBAH, GOSIP, MENGGUNJING, DAN BERBURUK SANGKA
Allah Ta’ala berfirman,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasang-ka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Al-Hujurat: 12).

Banyak bicara (tanpa manfaat), menyakiti hati, kalimat sia-sia, bersenda gurau yang melalaikan Allah, bermain-main dengan doa, menjuluki dengan julukan yang jelek dan menyebut-nyebut pemberian yang telah diberikan kepada seseorang, juga termasuk ke dalam serangkaian berkata yang mengakibatkan kita terjerumus ke dalam jurang neraka, maka kita semua harus menghindari semua itu, agar kita terhindar dari laknat dan murka Allah. .


Hati Nurani

Godaan dan tantangan hidup di dunia kita rasakan semakin banyak dan berat. sudah terlalu banyak orang yang tergelincir dari jalan yang benar, lalu mereka menempuh jalan yang bathil karena tidak mampu menghadapi tantangan dan godaan hidup. semakin banyaknya kemaksiatan yang dilakukan manusia sekarang ini menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi godaan dan tantangan hidup. potensi yang baik dan buruk memang ada pada diri setiap manusia, oleh karena itu, tinggal manusianya yang harus menentukan apakah akan menjaga kesucian dirinya atau justru mengotorinya dengan sejumlah dosa. Allah SWT berfirman :

ونفس وما سواها . فألهمها فجورها وتقواها . قد أفلح من زكاها. وقد خاب من دساها

Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa tersebut jalan kefasikan dan ketakwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Syams : 7-10)

Setiap kita harus dapat menjaga kesucian diri dengan cara banyak beramal saleh dan meninggalkan segala bentuk yang salah, meskipun kita terkadang ingin melakukan yang salah tadi karena terpengaruh oleh duniawi.

Ketika kita akan melakukan suatu perbuatan, sebenarnya ada sesuatu dalam diri kita yang selalu terlibat, bila perbuatan yang akan atau sedang kita lakukan itu benar, sesuatu dalam diri kita tadi akan mengiringi, menyertai, mendukung. bahkan akan memuji kita bila tindakan itu berhasil. sebaliknya, bila tindakan yang akan atau sedang kita lakukan itu salah dia akan mengganjal kita lalu meninggalkan kita. dan apabila perbuatan salah tadi itu selesai dia akan datang dengan makian, cercaan kepada kita sehingga kita menyesal karena perbuatan tadi.

Pembaca sekalian, tentu jama'ah sudah tahu apa yang dimaksud dengan sesuatu tadi, dia adalah HATI NURANI atau kita sebut dengan DLAMIR.

Dalam banyak hal, setiap muslim dituntut untuk mengikuti suara hati nuraninya dan menekan hawa nafsunya. karena hati tidak tak pernah bohong dan selalu memberikan kesaksian sejati tentang benar atau tidaknya suatu perbuatan yang kita lakukan. Namun sayangnya, justru kata dan suara hati inilah yang paling sering diabaikan manusia. Karena itu seseorang yang melakukan dosa biasanya secara sadar telah melawan hati nuraninya sendiri. Jika hatinya masih hidup, bersih, dia akan membisikan bahwa perbuatan yang akan atau sedang dilakukannya adalah dosa. Namun bila hatinya telah kotor, mati maka kemampuan kontrolnyapun melemah. Teguran/bisikan hati ini biasanya diiringi rasa malu, atau enggan jika perbuatannya diketahui oleh orang lain. Rasulullah bersabda:

البر حسن الخلق والإثم ما حاك فى صدرك وكرهت أن يطلع عليه الناس

Kebajikan itu adalah keluhuran akhlak sedangkan dosa adalah apa yang dirimu merasa ragu dan kamu tidak suka jika orang ,ain menghetahuinya. (HR. Muslim)

Dalam taraf tertentu hati manusia bisa kotor, rusak dan mati, itu dikarenakan banyaknya dosa-dosa yang telah diperbuat. keadaan hati yang demikian itu sangat memprihatinkan karena sering kali membelenggu jiwa pemiliknya dalam penjara kesesatan dan kedurhakaan kepada Allah SWT.

Dari seorang Tabi'in imam Hasan Al Bashri- kita mendapat nasehat;

Sesungguhnya kerusakan hati manusia itu disebabkan enam perkara : 1). mereka sengaja berbuat dosa dengan harapan dapat bertaubat. 2). mereka menuntut ilmu tetapi tidak mengamalkannya. 3) jika mereka mengamalkan ilmunya mereka tidak ikhlas. 4). mereka mendapat rizki dari Allah tetapi mereka tidak bersyukur. 5) mereka tidak rela/puas dengan pemberian Allah. 6) mereka mengebumikan orang mati tetapi tidak mengambil pelajaran daripadanya.

Orang yang hatinya kotor tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyaring antara yang hak dan bathil. orang yang hatinya mati dia akan jahil, bodoh baik dalam mengenal dirinya sendiri, lebih-lebih dalam mengenal Allah Azza wa jalla, Zat yang telah menyempurnakan kejadiannya dan pula mengurus tubuhnya lebih daripada apa yang bisa ia lakukan terhadap dirinya sendiri. padahal tidak ada kekayaan termahal dalam hidup ini, kecuali keberhasilan mengenal diri dan Tuhannya.

Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah mampu mengenal dirinya dengan baik karena hatinya mati, tidak akan tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini. Demikianpun, karena tidak mengenal Rabnya, maka hampir dapat dipastikan kalau yang dikenalnya hanyalah dunia saja, dan itupun sebagaian kecil belaka. Akibatnya, semua kalkulasi perbuatannya, tidak bisa tidak, hanya diukur dengan aksesoris keduniaan. Dia menghargai orang semata-mata karena orang tersebut tinggi pangkat dan jabatannya, ataupun banyak hartanya. Demikian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang lain, itu karena ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain meski ia sendiri tidak peduli dari mana dan pergi kemana harta yang ia peroleh.

Ajaran islam datang untuk mensucikan hati kita, menjaganya agar selalu berfungsi, bercahaya. Seorang mukmin bukan tidak pernah berdosa, akan tetapi selalu menghindar dari dosa. seorang mukmin tidak pernah menganggap enteng atau meremehkan dosa sekecil apapun karena ia tahu bahwa dosa itu dilakukan kepada Allah yang maha pengasih dan penyayang kepadanya. dia akan menangisi dosanya sebagaimana dia menangis karena takut dimasukkan ke dalam neraka jahannam.

Beruntunglah kita bila kita dikaruniai kekayaan berupa harta yang banyak, akan tetapi yang harus kita utamakan dalam menjaganya adalah kekayaan bathin berupa hati nurani/dlamir ini. hati nurani yang penuh cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah Azza wa jalla.

Bagaimana menjaga hati agar tetap suci, bersih, bercahaya? kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia dari unsur tanah; bila perut terasa lapar, maka kita santap aneka makanan yang sumbernya dari tanah. bila tubuh kedinginan, kita mengenakan pakaian, yang bila kita telusuri, ternyata unsur-unsurnya dari tanah juga. Demikian pula bila kita sakit, katapun minum obat-obatan yang juga diolah komponen-komponen yang berasal dari tanah. pendek kata, untuk segala keperluan tubuh kita mencarikan jawabannya dari tanah. lalu bagaimana dgn hati kita? ternyata ia tidak senyawa dengan unsur-unsur tanah, sehingga hanya akan terpuaskan laparnya, bersihnya, sakitnya semata-mata dengan mengingat Allah. Alaa bizikrillah tatma'innul quluub.

Mari kita jaga hati kita dengan berjuang sekuat-kuatnya agar hati ini jangan sampai terlalaikan dari mengingat Allah. kita mulai dengan mengenali siapa diri kita. kita belajar ilmu dan hikmah, kita amalkan sekecil apapun ilmu yang kita peroleh dengan penuh keikhlasan. kita belajar untuk menerima dengan qona'ah apapun yang Allah berikan kepada kita, bersyukur tatkala mendapat karunia, bersabar dalam melakukan ketaatan, bersabar dalam meninggalkan maksiat dan bersabar ketika mendapat mushibah. dan yang tidak kalah penting lagi, untuk menjaga agar hati nurani kita bercahaya, mari kita belajar dari kematian, suatu saat kelak kita akan menemui ajal kita, meninggalkan segalanya yang kita miliki di dunia ini dan hanya membawa amal saleh kita.

يوم لا ينفع مال ولا بنون إلا من أتى الله بقلب سليم